Menu Close Menu

Wamenkomdigi: Regulasi Harus Berpedoman pada Atlas AI untuk Kedaulatan Digital

Selasa, 01 Juli 2025 | 08.00 WIB

 



Jakarta – Pemerintah membuat regulasi dengan berpedoman pada situasi geopolitik atau atlas teknologi kecerdasan artifisial atau Artificial Intelligence (AI) untuk menuju kedaulatan digital.


Hal ini ditegaskan Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi), Nezar Patria, saat menjadi pembicara dalam acara “Mencapai Seabad Indonesia Merdeka” di Ruang Literasi Kaliurang, Yogyakarta, pada Minggu (29/6/2025).


“Sebetulnya jelas sekali kalau kita ingin membuat satu regulasi dan lain sebagainya kita harus lihat geopolitik pengembangan AI ini. Atlas of AI itu harus jadi pedoman untuk membuat regulasi AI untuk Indonesia kalau kita mau teknologi yang berdaulat,” kata Wamenkomdigi.


Nezar Patria mengatakan, Indonesia, memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang sangat strategis untuk industri chip dan komputasi AI global, seperti nikel, boron, hingga mineral penting lainnya.


Namun, belum ada desain besar yang mampu menjadikan kekayaan tersebut sebagai bagian dari ekosistem global AI.


“Kita punya begitu banyak sumber daya alam dan begitu banyak critical minerals seperti nikel, boron, dan mineral penting lainnya. Tapi belum ada desain besar untuk mengorganisir secara tepat bagaimana kita bisa bargaining dengan pusat-pusat pembangunan AI di dunia agar kita menjadi bagian dari ekosistem pengembangan AI dunia,” jelasnya.


Untuk memperkuat posisi Indonesia, Wamenkomdigi Nezar Patria menekankan pentingnya membangun pusat riset dan cluster komputasi dalam negeri yang kuat, baik dari sisi perangkat keras (hardware), infrastruktur, maupun kapasitas data.


Sebab, saat ini dana penelitian dan pengembangan atau research and development  (R&D) Indonesia hanya 0,24 persen dari total produk domestic bruto (PDB), sehingga perjalanan menuju kedaulatan digital, khususnya di bidang AI, masih berjalan lambat.


“Nah tanpa R&D ini agak susah kita bisa mengembangkan AI yang berdaulat, AI yang milik kita sendiri. Untuk membangun semuanya dibutuhkan komputasi yang cukup kuat, infrastruktur yang mumpuni. Dua hal ini masih dalam perencanaan,” ujarnya.


Lebih lanjut, Nezar menjelaskan pentingnya kedaulatan AI bagi Indonesia karena AI dirumuskan dengan foundation model yang dibuat negara pengembangnya seperti Amerika Serikat sehingga data-data yang digunakan adalah nilai-nilai yang ada di barat, yang ‘membonceng’ nilai-nilai nyata saat dilatih.


Ia juga mengungkapkan ada tiga tantangan utama dalam transformasi digital Indonesia yang harus segera diatasi untuk bisa menjadi negara yang berdaulat digital yakni kesenjangan infrastruktur digital, ancaman serangan siber dan defisit talenta digital.


Selain itu, Indonesia diproyeksikan membutuhkan lebih dari 12 juta talenta digital pada 2030, namun masih kekurangan 2,7 juta, sehingga bisa menghambat seluruh proses transformasi.


Wamenkomdigi meyakini jika jumlah SDM berkualitas tercapai, maka keterbatasan infrastruktur bisa ditaklukkan untuk membuat inovasi-inovasi dalam kemajuan teknologi digital.


“Sekali lagi talenta digital ini menurut saya proyek nomor satu, infrastruktur itu mungkin bisa terbatas, tapi kalau orangnya kreatif dia bisa taklukan keterbatasan itu. China membuktikan itu dengan keterbatasan, begitu juga India juga dengan talenta-talenta yang baik mereka bisa lebih maju dalam adopsi teknologi digital ini,” tutur Nezar.


Wamenkomdigi juga mengingatkan bahwa transformasi digital tidak boleh dilihat secara sektoral, melainkan sebagai ekosistem yang saling terkait: dari keamanan, ekonomi, pendidikan, hingga perlindungan nilai lokal.


“Jadi antara geopolitik, kepentingan pertahanan dan keamanan, antara pembangunan ekonomi digital, antara pendidikan, kesehatan, protecting local values, itu semuanya berada dalam satu ekosistem yang saling mengunci. Tidak boleh kita abaikan satu elemen pun karena dia akan merusak satu ekosistem itu,” tandas Nezar Patria.

Komentar