Menu Close Menu

OPINI: Resolusi Pemuda, Menyiapkan Diri Menghadapi Era Digital

Sabtu, 27 Oktober 2018 | 22.19 WIB
DHEAN.NEWS - Sejarah mencatat, revolusi Indonesia berbeda dengan revolusi –revolusi yang terjadi di negara lain, terutama karena peran pemuda. Jika di Prancis 1789 dirancang oleh kaum intelektual, di Kuba 1959 digerakkan oleh kelompok (ideologi) sosialis, lalu ada Iran 1979 yang membuka mata dunia berkat konsolidasi tokoh agama Islam. 

Di Indonesia, ada pemuda yang menggelindingkan revolusi. Kekuatan pemuda yang memiliki pola sendiri saat mereka berhasil merebut kendali negara yang sedang dilanda krisis. Adalah Sumpah Pemuda yang telah diikrarkan hampir dua dekade sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Ini artinya, peran pemuda tidak bersifat dadakan, ia terkonsolidasi dan terencana dengan baik.

Hari ini, 90 tahun lalu, sebuah sumpah digaungkan, menandakan ditancapkannya sebuah visi yang mampu melampaui zaman, jauh dari keadaan mereka saat itu. Pada prosesnya,kemerdekaan Indonesia memang membutuhkan waktu, tenaga, air mata, juga korban jiwa. Namun, begitulah seharusnya visi bekerja.

Jika kita mereview gerakan pemuda-mahasiswa pasca revolusi, maka yang masih segar di ingatan dan catatan epik, adalah gerakan reformasi. Reformasi menyudahi kepemimpinan otoriter, sekaligus membuka kran demokrasi.

Tentu saja, kisah klasik kesuksesan gerakan mahasiswa era revolusi dan reformasi, akan selalu menjadi rujukan tentang bagaimana para pemuda merespon ketimpangan dan menjadi bagian dari perubahan. Dan sebagaimana perubahan, ketimpangan-ketimpangan tak pernah benar-benar mati. Hanya bentuk dan pelakunya yang berganti.

Aksi-aksi sporadis mahasiwa memang masih terlihat, namun tak lebih dari sekadar reaksi terhadap kondisi psikologis. Gerakan mahasiswa kini, nyaris tanpa kajian mendalam.

Mereka melakukan kritik, namun yang terlihat tak lebih sebagai tekanan yang bersifat sementara juga parsial. Sepertinya, mereka melupakan satu hal, namun sangat penting: kini adalah era revolusi digital. Era dimana hampir semua orang dapat mengakses informasi apapun, di waktu bersamaan juga bisa menolaknya.

“Dari ‘parlemen jalanan’ menjadi ‘parlemen digital’?"

Zaman telah berubah. Hari ini kita menyaksikan bagaimana revolusi industri 4.0 menjadi variabel utama dalam interaksi global. Karenanya, respon terhadap perubahan yang makin cepat ini akan sangat menentukan bagaimana kondisi satu hingga dua dekade ke depan.

Memang gerakan mahasiswa yang selama ini dikenal dengan istilah ‘parlemen jalanan’ dari segi strategi sudah mulai tidak efektif lagi. Arus informasi melesat dari berbagai media, terutama media online, membuat proses dialektika wacana kontemporer bisa datang dari berbagai arah. Tentu saja kita tidak bisa lagi berharap banyak bahwa aksi demonstrasi menjadi satu-satunya alat untuk mengkritisi. Lagi pula, mengkritisi dan menekan adalah dua hal yang berbeda.

Era digital tak perlu mereduksi gairah intelektual dan semangat mengkritisi ketimpangan. Karenanya, aksi-aski di jalanan, agar lebih efrktif, energinya bisa alihkan melalui media digital. Menghadapi perang informasi, dalam peran sederhana adalah melawan segala bentuk hoax dan ujaran kebencian.  
   
Lalu, jika kita bertanya, apakah julukan agent of change masih disandang oleh pemuda-mahasiswa? Kita dengan tegas mengatakan ‘Ya’. Pemuda hari ini adalah gambaran bagaimana bangsa ini 20 hingga 30 bahkan berabad-abad ke depan. Pemuda tetap didaulat sebagai agent perubahan, bahkan perubahan itu sendiri.

Karenanya, visi pemudan-mahasiswa hari ini seharusnya berangkat dari bagaimana menyiapkan diri merespon era revolusi industri 4.0. Tak ada kata terlambat. Bagaimana dan dengan apa kita berkompetisi di era digital ini menentukan dimana posisi bangsa ini dalam skema global.

Pemuda hari ini tidak hanya akan berhadapan dengan robot-robot cerdas, juga harus mampu membaca dan mengelola meta-data-digital. Karenanya, resolusi pemuda hari ini tidak lagi sekadar berdiri membela ketimpangan sosial, lebih dari itu, pemuda akan menjadi bagian dari solusi untuk mengatasi ketimpangan sosial itu.

Citizen Report: Muh. Arham Basmin

Komentar