Menu Close Menu

Bank Dunia Naikkan Peringkat Indonesia Jadi ‘Upper Middle Income Country’

Jumat, 03 Juli 2020 | 15.11 WIB

DHEAN.NEWS JAKARTA -  Di tengah pandemi Covid-19, pada tanggal 1 Juli 2020, Bank Dunia menaikkan status Indonesia dari lower middle income country menjadi upper middle income country.

Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia tahun 2019 naik menjadi USD4.050 dari posisi sebelumnya USD3.840.

Bank Dunia membuat klasifikasi negara berdasarkan GNI per capita dalam 4 kategori, yaitu: Low Income (USD1.035), Lower Middle Income (USD1.036-USD4,045), Upper Middle Income (USD4.046-USD12.535) dan High Income (>USD12.535).

Bank Dunia menggunakan klasifikasi ini sebagai salah satu faktor untuk menentukan suatu negara memenuhi syarat dalam menggunakan fasilitas dan produk Bank Dunia, termasuk loan pricing (harga pinjaman).

Kenaikan status Indonesia tersebut merupakan bukti ketahanan ekonomi Indonesia dan kesinambungan pertumbuhan yang terjaga dalam beberapa tahun terakhir.

Peningkatan status ini akan lebih memperkuat kepercayaan serta persepsi investor, mitra dagang, mitra bilateral dan mitra pembangunan atas ketahanan ekonomi Indonesia.

Pada gilirannya, status ini diharapkan dapat meningkatkan investasi, memperbaiki kinerja current account, mendorong daya saing ekonomi dan memperkuat dukungan pembiayaan.

Pembiayaan Pandemi Negara Berkembang

Sebelumnya,  Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada acara United Nations Conference yang digelar secara virtual, Rabu (01/07/2020) menjelaskan pandemi Covid-19 berdampak pada kesehatan, sosial, dan ekonomi, serta dapat meluas menjadi krisis keuangan global sehingga mengancam 3 dari 5 elemen Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu people (manusia), prosperity (kesejahteraan), dan partnership (kemitraan).

“Jadi, dari sudut pandang SDGs, pandemi ini jelas menyerang apa yang kita sebut people (manusia), prosperity (kesejahteraan), dan partnership (kemitraan), (adalah) tiga dari lima ‘P’ (elemen) SDGs.  Pandemi ini mempengaruhi perekonomian negara secara signifikan, dan yang pasti membuat sumber daya pembiayaan untuk mencapai tujuan pembangunan (SDGs) akan menjadi terganggu. Pendapatan dari perpajakan menurun karena semua kegiatan ekonomi telah terkontraksi, dan pada saat yang sama kebutuhan untuk pengeluaran negara baik untuk kesehatan maupun jaring pengaman sosial dan stimulus ekonomi meningkat secara dramatis,” ujar Menkeu.

Menkeu melanjutkan bahwa dalam kondisi pandemi ini, di beberapa negara ruang fiskal dan rasio utang terhadap PDB-nya sudah di melampaui batas. Lalu bagaimana negara-negara tersebut bisa memenuhi pembiayaannya. Maka dari itu, menurut Menkeu diperlukan solidaritas dan aksi global untuk merespon kondisi tersebut, khususnya untuk memfasilitasi pembiayaan bagi negara-negara berpendapatan rendah atau berkembang, yang memiliki keterbatasan akses pada pasar.

Arsitektur keuangan global harus beradaptasi untuk memastikan adanya respon yang memadai dan cepat, misalnya dengan peningkatan kapabilitas multilateral, penambahan instrumen baru, serta peningkatan legitimasi untuk melawan stigma utang. Menkeu berpendapat bahwa saat ini banyak negara mengalami defisit fiskal dan situasi ini harus segera diatasi.

“Saya pikir saat ini banyak negara yang sebagian besar menghadapi defisit fiskal, belum lagi mengenai keseimbangan pembayaran. Tetapi jika hal ini tidak segera diatasi maka situasi fiskal ini akan mempengaruhi sektor keuangan dalam bentuk kredit macet, maka itu dapat menjadi krisis ekonomi dan keuangan yang berbahaya bagi banyak negara di dunia ini,” tukas Menkeu. (FOTO : ANTARAFOTO)

Komentar