Menu Close Menu

Menggali Fakta Sawit dalam Palm Oil Seminar 2018: One Century of Indonesian Palm Oil

Rabu, 26 September 2018 | 17.40 WIB
DHEAN.NEWS BERLIN - ​Dibalik gencarnya larangan Uni Eropa terhadap penggunaan minyak sawit saat ini, ternyata Sawit di Indonesia semula diwariskan oleh Pendatang Eropa. Hal ini dipaparkan Bayu Krisnamurti, Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia dan anggota Advisory Board Andgreen Foundation, pada Palm Oil Seminar 2018: One Century of Indonesian Palm Oil, Jumat, (21/09) di KBRI Berlin.

Bayu mengungkapkan, “pada tahun 1848, seorang ilmuwan Belanda bernama Dr. D. T. Pryce, membawa benih sawit dan menanamnya di Kebun Raya Bogor. Komersialisasi minyak sawit di Indonesia pertama kali dilakukan oleh perusahaan Belgia, Socfin, pada tahun 1911“.

Socfin membuka perkebunan kelapa sawit di Pulau Rae Firja, Asahan, dan Sungai Liput, Aceh. Pabrik minyak sawit lalu didirikan di Sungai Liput pada tahun 1918. Pada tahun yang sama, satu perusahaan Jerman juga membuka perkebunan kelapa sawit di Tanah Itam Ulu, Sumatera Utara.

“Orang Eropa yang pertama mewariskan praktek budidaya dan komersialisasi minyak sawit di tanah Indonesia, lalu kenapa sekarang minyak sawit dimusuhi di Eropa? Apakah karena minyak nabati Eropa kalah bersaing oleh minyak sawit?" demikian lebih lanjut ungkap Bayu, yang juga merupakan dosen di Institut Pertanian Bogor dan mantan Wakil Menteri Pertanian dan Wakil Menteri Perdagangan.

Bayu menjelaskan bahwa dialog mengenai baik atau buruknya minyak sawit harus dilihat dari konteks man-land ratio, yaitu rasio perbandingan luas tanah yang dibutuhkan untuk menunjang kehidupan populasi manusia.

Jumlah populasi dunia saat ini adalah 7,3 milyar jiwa dan pada tahun 2050 diprediksi akan meningkat menjadi 9,7 milyar. Peningkatan populasi ini tentu akan berdampak pada penyempitan lahan. Saat ini satu hektar lahan rata-rata dihuni oleh 4,5 jiwa. Dengan peningkatan populasi pada tahun 2050 akan terjadi pula peningkatan penghuni sekitar 6,5 jiwa per hektar lahan.

Kebutuhan makanan dunia pun akan mengalami peningkatan. Tahun 2017 angka kebutuhan makanan dunia sekitar 4,5 juta ton. Angka ini akan diperkirakan akan melonjak menjadi 9 juta ton pada 2050. Man-land ratio akan menciut dari 0,22 hektar per kapita menjadi 0,15 hektar per kapita pada 2050.

“Untuk itu, kita memerlukan komoditas pangan yang land-efficient" lanjut Bayu.

Minyak sawit merupakan komoditas pangan dengan produktivitas tinggi tanpa memerlukan lahan yang luas. Untuk memproduksi 1 ton minyak sawit hanya memerlukan 0,26 hektar lahan. Bandingkan dengan minyak canola (rapeseed) yang memerlukan 1,25 hektar, minyak bunga matahari (sunflower oil) memerlukan 1,43 hektar, dan minyak kedelai (soybean oil) memerlukan 2 hektar lahan.

Selain Bayu, seminar ini juga menghadirkan Daniel May, Project Director dari Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (Masyarakat Kerjasama Internasional Jerman).

Menurut Daniel persepsi negatif yang berkembang di masyarakat Eropa mengenai minyak sawit dipicu dari masalah kebakaran hutan, pengeringan lahan gambut, dan konservasi keanekaragaman hayati. “Minyak sawit merupakan komoditas serba guna (versatile). Tanpa disadari, masyarakat Eropa mengkonsumsi minyak sawit yang menjadi salah satu bahan pembuat produk cat, ban kendaraan, lilin, cairan pembersih, bahkan kosmetika" paparnya.

Tantangan saat ini adalah bagaimana mengubah persepsi tersebut. Menurut Danil, yang juga menjabat sebagai Managing Director Forum Nachhaltiges Palmöl (Forum for Sustainable Palm Oil), salah satu jawabannya adalah dengan meningkatkan sistem sertifikasi minyak sawit sehingga 100% produk minyak sawit yang masuk ke pasar Eropa sudah tersertifikasi.

Upaya ke arah itu sebenarnza telah dilakukan Indonesia, meskipun masih perlu upaya ekstra. Indonesia telah membentuk mekanisme wajib ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) sebagai pelengkap RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan SCC (Supply Chain Certification) yang merupakan sistem sertifikasi internasional. Minyak sawit merupakan satu-satunya komoditas minyak nabati yang diwajibkan untuk mendapatkan sertifikasi untuk dapat masuk ke pasar Eropa, tidak seperti komoditas minyak nabati lainnya yang dapat dijual bebas tanpa sertifikasi.  

Seminar Seabad Sawit Indonesia ini dihadiri oleh kalangan profesional, akademisi serta pelajar yang melontarkan argumen-argumen kritis. Keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan merupakan masalah yang menjadi inti diskusi pada seminar.

"Seminar ini merupakan bagian dari upaya Indonesia untuk menyampaikan fakta tentang sawit. Kita harus akui masih banyak perbaikan-perbaikan ya ng perlu dilakukan agar mencapai sawit yang sustainable dan kita terus melakukannya. Ini perlu diketahui luas oleh masyarakat internasional dan negara-negara Uni Eropa", ujar Arif Havas Oegroseno, Dubes Indonesia untuk Jerman di sela-sela seminar.  

Hingga saat ini sudah banyak program kerja sama RI-Jerman untuk menciptakan sawit Indonesia yang sustainable". Sikap anti sawit di Uni Eropa dinilai banyak pihak sebagai sikap yang tidak berdasarkan hasil penelitian dan justru menumbulkan masalah baru karena penolakan terhadap sawit tidak akan menghilangkan kebutuhan global akan minyak nabati. Substitusi minyak nabati pengganti minyak sawit, malah akan menimbulkan deforestasi baru.  ​

Komentar