Menu Close Menu

IJL Jadi Landasan Untuk Libatkan Berbagai Pihak Kendalikan Kerusakan Perairan Darat

Kamis, 04 Oktober 2018 | 17.29 WIB
DHEAN.NEWS JAKARTA - Dalam rangka mengendalikan kerusakan perairan darat yang terdiri atas sungai, danau, mata air dan air tanah, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) menyelenggarakan workshop 3-4 Oktober 2018. Workshop tersebut mengambil tema Pengendalian kerusakan perairan darat (PKPD) melalui Public-Private Partnership (PPP), Imbal Jasa Lingkingan (IJL) dan Pola-Pola Insentif Hulu-Hilir. 

Direktur Jenderal PDASHL, Putera Parthama dalam sambutannya mengatakan bahwa pengendalian kerusakan perairan darat perlu dilakukan secara urun daya. “Urun daya atau crowdsourcing dalam kegiatan pengendalian kerusakan perairan darat wajib dilakukan.”, ujarnya.

Urun daya merupakan gerakan yang bersifat gerakan massal, yaitu gerakan yang melibatkan multi pihak, multi sektor, dan multi disiplin ilmu dari berbagai layer, yang saling bahu-membahu dalam pengawetan dan perlindungan lingkungan khususnya sumber daya air yang menyangkut sungai, danau, mata air dan air tanah.

Lebih lanjut, secara teknis diuraikan oleh Direktur Pengendalian Kerusakan Perairan Darat, Sakti Hadengganan, bahwa tanpa pelibatan para pihak, khususnya pelaku usaha yang telah menikmati jasa lingkungan maka pemulihan kerusakan sumber daya alam khususnya rehabilitasi lahan akan memerlukan waktu yang cukup panjang.

Oleh karena itu, perlu dikembangkan model Public-Private Partnership, Imbal Jasa Lingkungan ataupun pola pola insentif lain. “Prinsipnya, pemanfaatan sumber daya alam oleh swasta harus diimbangi dengan urun daya untuk meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.”, jelas Sakti.

Sakti juga menjelaskan bahwa permasalahan kerusakan perairan darat menjadi perhatian pemerintah disebabkan oleh kondisi ketersediaan air saat ini, dimana beberapa pulau menunjukkan kondisi kritis ketersediaan air. Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) tahun 2010, pulau yang berada dalam kondisi defisit air adalah Pulau Jawa, kondisi kritis Pulau Bali dan Nusa Tenggara, hampir kritis Pulau Sulawesi dan Pulau Sumatera dan kondisi pulau yang masih dalam surplus adalah Pulau Kalimantan.

Staf Ahli Menteri LHK Bidang Ekonomi Sumberdaya Hutan, Laksmi Wijayanti dalam pemaparannya mengatakan bahwa salah satu cara untuk melibatkan berbagai pihak dalam mengendalikan kerusakan perairan darat diantaranya melalui Imbal Jasa Lingkungan (IJL). Imbal Jasa Lingkungan (IJL) ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH). 

IELH adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup yang terdiri atas pengaturan perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi, Pendanaan Lingkungan Hidup dan Insentif dan/atau Disinsentif. IJL ini telah diimplementasikan di Kabupaten Lombok Barat, Kab. Kuningan dan Cirebon serta di DAS Cidanau, Serang Banten.

Dengan penerapan IJL ini, pengelolaan air antar wilayah dan antar pengguna tersebut telah memberikan manfaat bagi upaya penanganan pengendalian kerusakan perairan darat. Penerapan IJL ini memerlukan partisipasi berbagai pihak sebagai penyedia, pemanfaatan dan fasilitator. Pemerintah dalam hal ini KLHK dapat berperan sebagai fasilitator antara penyedia dan pemanfaatan perairan darat.

KLHK saat ini sedang menyusun Peraturan Menteri LHK yang mengatur pengendalian kerusakan perairan darat melalui Public-Private Partnership (PPP), Imbal Jasa Lingkungan dan Pola-Pola Insentif Hulu- Hilir. Demikian disampaikan oleh Laksmi Wijayanti dalam diskusi dengan peserta workshop. 

Dalam workshop tersebut, seluruh narasumber sepakat bahwa dalam rangka pengawetan dan perlindungan sumber daya alam, khususnya perairan darat (sungai, danau, mata air dan air tanah) maka seluruh lapisan masyarakat wajib berperan aktif sesuai kedudukan dan kemampuannya. Selain itu, harus dilakukan internalisasi seluruh biaya ekternalitas dari setiap kegiatan usaha ke dalam biaya produksi untuk digunakan kembali dalam kegiatan pengawetan dan perlindungan sumber daya alam, khususnya untuk meningkatkan daya dukung dan daya tampung perairan darat (sungai, danau, mata air dan air tanah).

Workshop ini diikuti oleh ± 150 peserta, yang berasal dari unsur yang berhubungan dengan perairan darat yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Bappenas, Kementerian LHK, Kementerian PUPR, Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, BPPT, BPDAS HL se-Indonesia, Forum DAS Provinsi se-Indonesia, Perusahaan Listrik Tenaga Air, Perusahaan Daerah Air Minum, Perusahaan Penyedia Jasa Wisata Alam, Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan, dan Forum/Lembaga Non Pemerintah yang berhubungan dengan pengelolaan air.

Hadir sebagai narasumber, Staf Ahli Menteri LHK Bidang Ekonomi Sumber Daya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktur Bina Operasional dan Pemeliharaan, Ditjen SDA, Direktur Pengendalian Kerusakan Perairan Darat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi, Kementerian ESDM, Asisten Deputi Pelestarian Lingkungan Hidup, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air Bappenas, Dosen Universitas Gajah Mada, Forum DAS Provinsi Banten, dan Direktur PT. Krakatau Tirta Industri (KTI). Sedangkan peserta adalah para pihak yang terkait langsung dengan pengendalian kerusakan perairan darat, yaitu unsur dari Kementerian Pusat, Akademisi, BPDASHL se-Indonesia, Forum DAS se-Indonesia, Pelaku usaha yang berhubungan dengan air (PLTA, Jasa Air), dan Asosiasi yang berhubungan dengan air.

Melalui penyelenggaraan workshop, diharapkan dapat menggugah para pihak untuk segera berperan aktif dalam pengawetan sumber daya air, khususnya melalui pola-pola public-private partnership, imbal jasa lingkungan, ataupun pola-pola insentif lain berdasarkan kesepakatan sehingga dapat mempercepat laju perbaikan lingkungan guna mewujudkan pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Dengan demikian kegiatan pengawetan dan perlindungan sumber daya air, khususnya pasca diterbitkannya PP 46 Tahun 2017 Tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Perpres Nomor 77 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup, secara urun daya dalam pengawetan dan perlindungan sumber daya alam khususnya bagi para pihak yang memanfaatkan jasa lingkungan.(*)

Komentar